Saat Angkatan Laut Indonesia Berjuang Tanpa Kapal Perang

Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut
Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut  

Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, banyak pemuda dengan pengalaman sebagai pelaut menggabungkan diri dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut. Mereka berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang berasal dari Koninklijk Marine (AL Belanda) atau Kaigun (AL Jepang).
"Organisasi militer ini berdiri dengan disahkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 10 September 1945, dengan pimpinan Mas Pardi,� tulis Masfar R dkk., dalam Sejarah pendidikan perwira TNI Angkatan Laut, 1945-1950(1982). 10 September kemudian hingga kini ditetapkan sebagai hari kelahiran TNI Angkatan Laut.
BKR Laut dibentuk di beberapa kota pelabuhan. Setelah BKR diganti Tentara Keamanan Rakyat (TKR), BKR Laut juga akhirnya ikut ganti nama. Sebelum belakangan menjadi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), badan ini menggunakan nama Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
Di Jakarta, �BKR Laut dibentuk oleh pemuda-pemuda bahariwan terutama siswa-siswa Sekolah Pelayaran Tinggi, Kaiji Syokyoku (Jawatan Pelayaran), Jawa Unko Kaisya (Perusahaan Pelayaran Pemerintah), dan Sekolah Tehnik Bangunan,� catat buku Sejarah Kesehatan TNI Angkatan Laut (1980).
Di Tegal, menurut Sudono Jusuf dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Laut (1971), pembangun BKR Laut di Tegal melibatkan para siswa dan instruktur Sekolah Pelayaran Tegal. Biasanya, mereka kemudian merekrut orang-orang di luar sekolah supaya terbentuk pasukan.
Sementara di Surabaya, badan ini dibentuk pada 10 September 1945. "Di dalamnya terdapat pasukan-pasukan yang dipimpin oleh pemuda-pemuda: K Sumodirdjo, B Isnomo, Soelaeman Goerni, Lastirah, R.P. Abdul Latief, Mogod, Abdullah dan lainnya,� tulis Radik Djarwadi dalam Pradjurit Mengabdi Gumpalan Perang Kemerdekaan Bataljon Y (1959). Pasukan-pasukan ALRI itu terlibat juga dalam pertempuran 10 November 1945.
Seperti juga Republik Indonesia, ALRI juga kekurangan dana dan peralatan memadai di awal kelahirannya. Kapal-kapal ALRI tak sekuat Angkatan Laut Belanda, Koninklijk Marine. ALRI malah sempat kehilangan satu kapal di Cirebon. Saat itu, KRI 408 Gadjah Mada ditembaki dan tenggelam bersama komandannya, Letnan Samadikun, pada Desember 1946.
Dengan armadanya, Angkatan Laut Belanda lebih leluasa bergerak dan mengganggu Indonesia. Mereka melakukan blokade laut untuk melemahkan ekonomi Indonesia. Setelah 1947, karena timpangnya kekuatan armada, banyak kota pelabuhan Indonesia yang akhirnya dikuasai Belanda.
Jangankan kapal, untuk bahan pakaian, banyak personel ALRI yang pakai celana pendek. Menurut Hario Kecik, dalam buku Pemikiran Militer 4: Bangsa Indonesia Abad 21 Timbulnya Filosofi Baru (2009), �... seragam Angkatan Laut waktu itu meniru seragamnya AL Belanda dan Inggris yaitu celana pendek."
Lemahnya armada kapal membuat kerja-kerja ALRI pun jadi terbatas. Mau tidak mau mereka harus melakukan banyak tindakan berisiko demi menembus blokade laut yang dilakukan Belanda.
Salah satu tindakan berisiko dilakukan oleh John Lie dan kawan-kawannya. Mereka melakukan penyelundupan dengan kapal The Outlaw yang berhasil menembus blokade laut Belanda. Kisah penyelundup John Lie yang sangat membantu Republik itu pernah diulas Roy Rowan dalam artikelnya "Guns Bibles Are Smuggled to Indonesia" di majalah Life (26/09/1949). Perwira Kristen Tionghoa ini kerap membawa Bibel dalam aksi-aksinya menembus blokade Belanda�membawa senjata atau apapun yang diperlukan Republik Indonesia untuk perjuangan.
Menurut Kecik, karena ALRI tidak mempunyai kapal dan bermarkas di daerah pegunungan, seperti Kota Lawang di Jawa Timur, maka pasukan ALRI di Jawa sering diejek sebagai: ALRI Gunung. Ejekan yang mungkin terasa menyakitkan namun memperlihatkan realitas yang dihadapi ALRI.
�Selama perang kemerdekaan, mereka berjuang di lereng gunung, bukan di laut," catat buku Dan Toch Maar (2009).
Ketika ada reorganisasi tentara, ALRI harus kehilangan banyak personelnya yang dimasukan ke dalam divisi pasukan darat TNI. Di antara pasukan ALRI yang digabungkan kepada Angkatan Darat adalah Mayor Abdullah dan pasukannya. Setelah revolusi (1945-1949) selesai, banyak dari mereka yang tidak kembali ke ALRI.
Selain melakukan penyelundupan seperti yang dilakukan John Lie atau bergerilya di darat sehingga diejek "ALRI Gunung", banyak juga anggota ALRI yang dikirim ke luar Jawa. Salah satu yang penting dicatat adalah mereka yang dikirim ke Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, yang telah banyak diperkuat oleh pemuda Banjar yang lama tinggal di Jawa. Pemuda-pemuda itu lalu dimasukkan ke dalam ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Hasan Basry adalah pemimpin Batalyon Rahasia ALRI di sana.
�Basisnya di Hulu Sungai, Kalimantan Selatan, ALRI divisi IV (A) mengurus semua kegiatan gerilya di wilayahnya. ALRI Divisi (B) menangani Kalimantan Barat dan dipimpin oleh Dr. Soedarso dan bermarkas di Pontianak,� tulis Ooi Keat Gin dalam Post-war Borneo, 1945-50: Nationalism, Empire and State-Building (2013).
Untuk daerah Kalimantan Timur, ALRI dari Jawa juga mengirimkan anggotanya. Berdasarkan Arsip Kementerian Pertahanan nomor 1006, ALRI menyusupkan anggota bernama Seman Basmi ke Pelabuhan Balikpapan dari Makassar. Seman menemui orang-orang sipil yang angkat senjata melawan tentara Belanda di sana. Kasmani, pimpinan pejuang Balikpapan, ditemui dan diserahi surat instruksi dari markas Divisi IV ALRI. Isinya adalah perintah membuat serangan terhadap tentara Belanda.
Seman yang berhasil mengelabui polisi Belanda kemudian melanjutkan perjalanan ke Banjarmasin dengan menaiki pesawat. Di sana dia juga berhubungan dengan pejuang di Kalimantan Selatan.
Setelah kepergian Seman, pejuang-pejuang Balikpapan itu menyerang tentara Belanda. Beberapa perwira Belanda berhasil ditewaskan. Kerja orang-orang ALRI menggalang kekuatan di Kalimantan Selatan memungkinkan didirikannya Pemerintah Militer Kalimantan Selatan pada 17 Mei 1949.
Sumber : https://tirto.id

0 Response to "Saat Angkatan Laut Indonesia Berjuang Tanpa Kapal Perang"

Post a Comment